Kupu-kupu sedang mengawan
Banyak yang percaya bahwa kupu-kupu memiliki umur yang sangat
singkat. Sebenarnya, kupu-kupu dewasa mampu hidup selama seminggu maupun
hampir setahun tergantung pada spesiesnya. Kebanyakan spesies melalui
tingkat larva yang agak lama, dan ada yang mampu menjadi
dorman ketika dalam tingkat pupa atau telur agar dapat mengarungi musim dingin.
Kupu-kupu bisa bertelur sekali atau banyak kali setiap tahun. Jumlah
keturunan setahun berbeda pada pengaruh iklim, yang mana kupu-kupu yang
tinggal di daerah tropis mampu
bertelur lebih sekali dalam setahun.
Telur
Telur kupu-kupu dilindungi oleh kulit berabung keras yang disebut
khorion ditutupi dengan lapisan anti lilin yang melindungi telur dari terjemur sebelum larva sempat berkembang sepenuhnya., Setiap telur memiliki pori-pori berbentuk corong yang halus di satu ujungnya, yaitu
mikropil yang bertujuan memungkinkan masuknya
sperma untuk bergabung dengan
sel telur. Lain spesies lain ukuran telurnya, namun semua telur kupu-kupu berbentuk bola maupun ovat.
Telur kupu-kupu dilekatkan pada daun dengan bahan perekat khusus yang
cepat mengeras. Bila mengeras, bahan itu berkontraksi dan membengkokkan
bentuk telur. Perekat ini mudah dilihat membentuk bahan meniskus yang
mengelilingi tapak setiap telur. Perekat ini jugalah yang diproduksi
oleh pupa untuk mengikat seta-seta kremaster. Perekat ini sungguh keras
sampai lapik sutra yang melekatkan seta-seta tidak bisa dipisahkan.
Telur kupu-kupu selalu diletakkan pada tumbuhan. Setiap spesies
kupu-kupu memiliki rentang tumbuhan perumah yang sendiri, baik yang
hanya satu spesies maupun berbagai spesies. Tingkat telur dilalui selama
beberapa minggu untuk kebanyakan kupu-kupu, tetapi telur yang keluar
tidak lama sebelum musim dingin, terutama di daerah beriklim sedang,
harus melalui tingkat
diapaus (istirahat) dan hanya menetas di
musim semi. Ada spesies kupu-kupu yang lain yang bisa bertelur pada
musim semi agar telur dapat menetas pada
musim panas.
Ulat
Larva kupu-kupu, yaitu
ulat,
memakan daun tumbuhan dan menghabiskan seluruh waktunya sebagai
beluncas untuk mencari makanan. Kebanyakan beluncas adalah maun, tetapi
ada beberapa spesies seperti
Spalgis epius dan
Liphyra brassolis yang memakan serangga.
Beberapa larva, terutama yang tergolong dalam
Lycaenidae, menjalin
hubungan yang saling menguntungkan
dengan semut. Beluncas berhubungan dengan semut dengan menggunakan
getaran yang dipancarkan melalui substrat di samping merembeskan sinyal
kimia. Semut sedikit banyak melindungi larva ini; sebagai balasan, larva menolong semut mengumpulkan
rembesan madu.
Beluncas membesar melalui serantaian tingkat yang disebut instar.
Menjelang akhir setiap instar, larva menjalani proses yang disebut
apolisis, yang mana
kulit ari, yaitu lapisan luar keras yang terbuat dari campuran
kitin dan
protein-protein khusus, dikeluarkan dari
epidermis yang lembut di bawahnya, maka epidermis membentuk kulit ari yang baru di bawah. Di akhir setiap instar, larva itu
bersalin kulit lamanya, maka kulit baru berkembang lalu mengeras dan menghasilkan pigmen dengan cepat.
Proses menyalin kulit ini bisa memakan waktu berhari-hari. Corak kepak
kupu-kupu mulai berkembang pada tubuh beluncas menjelang instar yang
terakhir.
Ulat kupu-kupu memiliki tiga pasang kaki tetap pada segmen toraks dan tidak lebih enam pasang
prokaki yang tumbuh pada segmen abdomen. Pada prokaki ini ada gegelang kait halus yaitu
krusye yang membantu beluncas menggenggam substrat.
Beberapa ulat bisa menggembungkan sesebahagian kepalanya supaya mirip
ular sebagai langkah pertahanan. Ada juga yang dilengkapi dengan mata
palsu agar lebih efisien. Beberapa beluncas memiliki struktur khusus
bergelar
osmeterium yang dibokongkan untuk merembeskan bahan kimia yang busuk pada tujuan pertahanan juga.
Tumbuhan perumah sering mengandung bahan beracun di dalamnya yang
dapat dipisahkan oleh beluncas untuk disimpan sampai tingkat dewasa agar
tidak sedap dimakan burung dan predator-predator yang sejenisnya.
Ketidaksedapan ini diperlihatkan dengan warna-warna peringatan merah,
jingga, hitam atau putih, dalam kebiasaan yang dikenal sebagai
aposematisme.
Bahan-bahan beracun dalam tumbuhan sering dikembangkan khusus untuk
melindungi tumbuhan dari dimakan oleh serangga. Namun, serangga berhasil
mengembangkan langkah balas atau memanfaatkan toksin-toksin ini untuk
kemandirian dirinya. "Perlombaan senjata" ini telah memicu evolusi
bersama sesama serangga dan tumbuhan perumahnya.